Terima Kasih atas Larangannya

26 Desember 1991, Cipedak Jagakarsa Jakarta Selatan tepat 02.30 pagi lahir bocah laki-laki dengan berat 3,5 kg, dan panjang 52cm bernama Andritany Ardhiyasa. Lahir dari seorang ibu bernama Neni Juliani, dan seorang bapak bernama Talih Ardhiyasa. Saya tumbuh dari keluarga kalangan menengah, bapak saya pada awalnya seorang scurity bank, dan pensiun sebagai pegawai bank ibu saya seorang ibu rumah tangga. Kami tinggal di kampung yang bernama Cipedak, ketika itu jalan masuk ke rumah masih tanah merah, dan becek saat hujan turun. Hanya ada beberapa rumah saja di desa tersebut pada saat saya lahir, lampu 3 watt menyinari setiap teras rumah yang ada.

Saat ada pertandingan tinju, atau sepak bola orang tua saya selalu pergi ke rumah tetangga yang memiliki televisi hitam putih, rumah tersebut milik pak Haji Yusup, kebetulan rumah beliau dekat dengan musholah tempat kami sekeluarga sholat. Tidak jarang ketika itu saya, bersama orang tua terutama bapak menonton pertandingan sepak bola atau tinju di rumah beliau.

Orang tua saya di karuniakan dua orang anak, pertama Indra Kahfi Ardhiyasa yang saat ini bermain untuk Bhayangkara Fc, dan yang kedua Andritany Ardhiyasa (saya sendiri). Kami berdua sering barmain bola bersama bahkan sampai garasi rumah dan dua kursi menjadi gawang ketika itu, dengan menggunakan bola tenis kami memainkannya hampir setiap sore, sampai adzan maghrib berkumandang.

Sejak umur 5 tahun saya selalu di belikan bola oleh ayah ketika beliau pulang kerja, bola apa saja yang beliau berika selalu saya mainkan memakai kedua kaki ini. Ketika bermain sore, tidak jarang saya bermain di depan halaman rumah bermain sepak bola bersama teman-teman dan disaat itu saya selalu menjadi penjaga gawang, walau terkadang saya meminta ganti menjadi sebagai penyerang.

Saat umur 7 tahun saya suka ikut kaka bermain sepak bola di lapangan bola volly tanah yang berada di tengah-tengah kebun seorang pedagang nasi uduk lapangan tersebut sering kami sebut San SIro karena banyak daerah saya fans dari Inter Milan, dan juga AC Milan. Di San Siro saya bermain bersama orang yang lebih dewasa dari umur saya, ketika ingin bermain saya selalu di larang menjadi penyerang, karena umur yang masih terbilang lebih muda dari yang lain, kenyataanya saat ini saya berterima kasih kepada orang-orang yang dahulu pernah melarang bermain menjadi seorang penyerang.

sejak umur 6 tahun saya sudah jatuh cinta dengan sepak bola, tidak jarang di ajak oleh bapak ke lapangan walau hanya untuk berlari-lari, atau menonton bapak, dan abang (Indra Kahfi) bermain dengan tim kampung tempat kami tinggal. Dari sana mulai saya belajar bagaimana cara menendang bola yang benar, dan mengontrol bola yang baik.

Pada kenyataannya saya bukan terlahir dari keluarga pesepak bola, tetapi saya dilahirkan di keluarga pencinta olah raga. Bapak, dan ibu saya bukan pure pencinta sepak bola, bahkan bapak dan ibu saya kenyataannya adalah pemain bola volly. Karena terlahir dari keluarga yang pencinta bola volly, saya dan Indra Kahfi secara otodidak bisa bermain bola volly. Bahkan saat duduk di bangku SMA, Indra Kahfi pernah berada di persimpangan antara sepak bola, atau bolla volly.

Berbeda dengan abang, saya yang sejak 1998 sudah masuk di SSB tidak pernah sedikit saja ada niat keluar dari sepak bola. apa lagi di tambah support dari kedua orang tua yang hampir setiap latihan selalu mendapingi membuat saya lebih termotivasi saat berada di dalam lapangan. Bukan berarti abang tidak di support, orang tua kami sangat memperhatikan perkembangan, dan masa depan kedua anaknya, hingga sampai saat ini kedua orang tua kami masih andil untuk kami menjadi manusia yang lebih baik.

Ketika duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah ada didalam persimpangan seperti Indra hanya bedanya adalah saya di persimpangan antara sepak bola, dengan pendidikan. Ketika SSB saya ada latihan setiap satu Minggu ada tiga kali, Selasa, Kamis, dan Minggu untuk hari Minggu tidak menjadi masalah yang besar karena hanya masalah agak sulit bagun tidur di Minggu pagi. Yang menjadi masalah besar adalah Selasa, dan Kamis sore di karanakan saat kelas 3 SD saya harus masuk sekolah siang.

Dengan adanya masalah tersebut saya berdiskusi dengan ibu, dan bapak untuk mencari jalan keluar agar saya dapat menjalankan latihan, dan sekolah. Pada akhirnya saya meminta pindah sekolah agar bisa menjalankan latihan di Selasa, dan Kamis sore. Sekolah saya pindah, pada akirnya tidak lagi berbenturan dengan jadwal latihan, ternyata diluar dugaan ketika menginjak kelas 5 SD terjadi renovasi sekolah yang membuat seluruh kelas harus menumpang di sekolah lain. Dan terjadilah masalah baru antara sekolah, dan sepak bola.

Bersambung.